Bismillah

Bismillah
AWAL PERMULAAN YANG BAIK

Rabu, 28 Desember 2016

PENGUASA YANG ADIL

Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah itu memerintahkan keadilan, berbuat baik dan memberikan bantuan kepada kaum kerabat,” sampai habisnya ayat. (an-Nahl: 90)
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Dan berlaku-adillah engkau semua, sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Hujurat: 9)
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Ada tujuh macam orang yang akan diberi naungan oleh Allah dalam naungannya pada hari tiada naungan melainkan naungan Allah itu sendiri, iaitu: imam – pemimpin atau kepala – yang adil, pemuda yang tumbuh – sejak kecil – dalam beribadat kepada Allah ‘Azzawajalla, seseorang yang hatinya tergantung – sangat memperhatikan – kepada masjid-masjid, dua orang yang saling cinta- mencintai kerana Allah, keduanya berkumpul atas keadaan yang sedemikian serta berpisah pun atas keadaan yang sedemikian, seseorang lelaki yang diajak oleh wanita yang mempunyai kedudukan serta kecantikan wajah, lalu ia berkata: “Sesungguhnya saya ini takut kepada Allah,” – ataupun sebaliknya yakni yang diajak itu ialah wanita oleh seorang lelaki, seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu menyembunyikan amalannya itu – tidak menampak-nampakkannya, sehingga dapat dikatakan bahawa tangan kirinya tidak mengetahui apa-apa yang dilakukan oleh tangan kanannya dan seseorang yang ingat kepada Allah di dalam keadaan sepi lalu melelehlah airmata dari kedua matanya.”(Muttafaq ‘alaih)
658. Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya orang yang berlaku adil itu di sisi Allah akan menempati beberapa mimbar dari cahaya. Mereka itu ialah orang-orang yang adil dalam meneterapkan hukum, juga terhadap keluarga dan perihal apapun yang mereka diberi kekuasaan untuk mengaturnya.” (Riwayat Muslim)
Dari ‘Auf bin Malik, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Pemimpin-pemimpin pilihan di antara engkau semua ialah orang-orang yang engkau semua mencintai mereka dan mereka pun mencintaimu semua, juga yang engkau semua mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untukmu semua.
Adapun pemimpin-pemimpin yang jahat di antara engkau semua ialah orang-orang yang engkau semua membenci mereka dan mereka pun membenci padamu semua, juga yang engkau semua melaknat mereka dan mereka pun melaknat padamu semua.” ‘Auf berkata: “Kita para sahabat lalu berkata: “Ya Rasulullah,apakah kita tidak boleh menentang kepada pemimpin-pemimpin yang sedemikian itu? Beliau s.a.w. bersabda: “Jangan menentang mereka, selama mereka masih tetap mendirikan solat di kalanganmu semua.” (Riwayat Muslim)
Riyadhus Shalihin – Taman Orang-orang Shalih
Dari ‘Iyadh bin Himar r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Ahli syurga itu ada tiga macam, iaitu orang yang mempunyai kekuasaan pemerintahan yang berlaku adil dan dikurniai taufik -yakni dikurniai pertolongan oleh Allah untuk melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya, juga seorang yang berhati kasih sayang, lemah-lembut kepada semua kerabatnya dan juga kepada sesama Muslimnya, dan pula seorang yang menahan diri dari meminta-minta dan berusaha untuk tidak meminta-minta itu, sedangkan ia mempunyai keluarga banyak – dan dalam keadaan miskin.” (Riwayat Muslim)

#Kitab Riyadhus Shalihin

KEBERKAHAN BUMI SYAM



سُبحٰنَ الَّذى أَسرىٰ بِعَبدِهِ لَيلًا مِنَ المَسجِدِ الحَرامِ إِلَى المَسجِدِ الأَقصَا الَّذى بٰرَكنا حَولَهُ لِنُرِيَهُ مِن ءايٰتِنا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّميعُ البَصيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (terjemahan firman Allah Al-Quran surah Al-Israa’/17:1)
KEUTAMAAN SURAT AL ISRAA’
Surat yang mulia ini adalah makkiyah[1].
Al Imam al Qurthubi rahimahullah berkata,”Surat ini adalah makkiyah, kecuali tiga ayat…,” kemudian beliau menyebutkan ke tiga ayat tersebut, yaitu ayat 60, 76, dan 80. Lihat Tafsir al Qurthubi (10/180).
Adapun al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, beliau berkata, “Surat ini adalah makkiyah menurut pendapat sebagian besar ulama. Namun sebagian mereka ada yang berkata, di dalam surat ini terdapat ayat-ayat madaniyah. Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, surat ini makkiyah kecuali delapan ayat…,” kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat tersebut, di antaranya ayat 60, 73, 74, 75, 76, 80, dan 107. Lihat Zaadul Masir (5/3). Lihat pula al Isti’ab fi Bayanil Asbab (2/436).
Berkaitan dengan keutamaan surat ini, terdapat hadits shahih yang menerangkannya. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ n لاَ يَنَامُ عَلَى فِرَاشِهِ حَتَّى يَقْرَأَ (بَنِي إِسْرَائِيْلَ) وَ(الزُّمَر).
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tidur di atas ranjangnya sampai beliau membaca surat Bani Israil dan az-Zumar”.[2]
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu juga pernah berkata tentang keutamaan surat Bani Israil, al Kahfi, Maryam, Thaha, dan al Anbiyaa’:
إِنَّهُنَّ مِنَ العِتَاقِ الأُوَلِ، وَهُنَّ مِنْ تِلاَدِيْ
“Sesungguhnya surat-surat itu termasuk yang pertama kali diturunkan di Mekkah, dan surat-surat itu termasuk yang sudah lama dan yang pertama kali aku pelajari”.[3]
PENJELASAN AYAT
سبحن الذى أسرى بعبده ليلأ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam.
Kata Subhana, mengawali ayat pertama dari surat al Israa’, yang maknanya menurut ulama, tujuannya sebagai tanzih (pensucian Allah dari segala kekurangan).[4]
Ayat ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu Jarir ath Thabari berfungsi: “Sebagai tanzihan (pensucian) bagi Dzat yang memperjalankan hambaNya di malam hari, dan untuk membersihkan dari ucapan-ucapan kaum musyrikin, bahwa Allah mempunyai sekutu dalam hal penciptaan, memiliki isteri dan anak. Penyebutan ini (pensucian) sebagai bentuk peninggian Allah dan pengagungan bagiNya dari penyematan yang mereka lakukan bagi Allah, serta yang mereka nisbatkan kepadaNya, yang muncul dari kebodohan dan kekeliruan dari perkataan mereka”.[5]
Sementara itu, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: “Allah sedang memuliakan dan mengagungkan diriNya sendiri, karena kekuasaanNya untuk berbuat hal-hal yang tidak mampu dikerjakan oleh siapapun selainNya. Tidak ada Ilah dan tiada Rabb selainNya”.[6]
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata, ”Allah memuliakan dan mengagungkan DzatNya yang suci. Sebab, Allah mempunyai perbuatan-perbuatan yang agung dan karunia-karunia yang besar, di antaranya memperjalankan hambaNya dan RasulNya (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dari Masjidil Haram, yang merupakan masjid paling mulia secara mutlak, menuju Masjidil Aqsha, yang termasuk masjid-masjid yang utama, tempat para nabi”.[7]
Sedangkan Ibnul Jauzi rahimahullah, memaknai arti kata tasbih (subhana) dalam ayat ini, mengandung dua makna.
Pertama: Bangsa Arab, jika berhadapan dengan perkara yang mencengangkan, mereka mengucapkan tasbih saat itu juga. Seolah-olah, (di sini) Allah ingin menjadikan para hamba mengagumi kenikmatan yang dicurahkan Allah kepada RasulNya (berupa Isra’ Mi’raj).
Kedua: Bentuk ini dipakai untuk membantah mereka (kaum Arab). Sebab, ketika Nabi menceritakan kisah Israa’nya, mereka mendustakannya. Sehingga makna ayat ini menjadi Maha Suci Allah, yang tak mungkin mengangkat seorang rasul yang berdusta.
Berdasarkan zhahir ayat ini, perjalanan tersebut terjadi pada awal malam, dengan jasad dan ruh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]
Imam ath-Thabari mengatakan: “Tidaklah benar jika seseorang berpendapat beliau menempuh perjalanan Israa’ dengan ruhnya saja, tanpa disertai jasad. Sebab, jika demikian (hanya dengan ruh saja), maka (peristiwa itu) tidak menjadi petunjuk tentang kenabian beliau, dan tidak ada hujjah bagi risalah beliau. Sesungguhnya Allah mengabarkan dalam kitabnya, bahwa Dia memperjalankan hambaNya pada malam hari, bukan memperjalankan ruh hambaNya. Tidak boleh (bagi kita) melampaui batas yang telah difirmankan Allah, (mengalihkannya) kepada keterangan lain…dst.”[9]
Ibnu Abil ‘Izzi mengatakan: “Diantara bukti penguat bahwa peristiwa Israa’ (dan Mi’raj) dengan jasad Nabi Muhammad, bahwa kata al-‘abdu (pada ayat), merupakan rangkaian jasad dan ruh, sebagaimana kata al insan (manusia) terdiri dari jasad dan ruh. Ini yang dipahami secara mutlak, dan merupakan pendapat yang shahih. Jadi, peristiwa Israa` terjadi dengan jasad dan ruh. Dan secara logika, tidak mustahil. Jika boleh disebut mustahil naiknya seorang manusia ke atas langit, konsekwensinya, turunnya malaikat juga demikian, boleh dianggap mustahil. Akibatnya pemahaman seperti ini dapat menyeret kepada kekufuran kepada nabi, yang merupakan bentuk kekufuran”.[10]
من المسجد الحرام
(dari al Masjidil Haram).
Masjidil Haram [11], yang terletak di Mekkah. Sebuah masjid yang sudah dikenal oleh orang-orang bila mereka mendengarnya, dan merupakan masjid paling utama, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi bersabda:
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ أَوْ كَأَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini seribu kali lebih utama dari shalat di tempat lainnya, kecuali Masjidil Haram”. [HR al Bukhari, 1/398 no. 1133; Muslim, 2/1012 no. 1394; dan lain-lain]
ألى المسجد الأ قصا
(ke Masjidil Aqsha), yaitu Baitul Maqdis.
Disebut sebagai al Aqsha (yang paling jauh), lantaran jauhnya jarak dengan Masjidil Haram. Merupakan masjid terjauh di bumi ini bagi penduduk Mekkah, yang diagungkan dengan mengunjunginya.[13]
Kalau ada yang melontarkan pertanyaan, apakah hikmah perjalanan malam (Israa’) ke Baitul Maqdis terlebih dahulu?[14]
Maka jawabannya, –wallahu a’lam– ini sebagai bukti untuk membenarkan pengakuan Nabi tentang mi’raj. Yakni ketika kaum Quraisy menanyakan ciri-ciri Baitul Maqdis kepada beliau. Ditambah lagi, untuk memberitahukan kepada mereka tentang orang-orang yang beliau lewati dalam perjalanan. Apabila keberangkatan mi’raj beliau (langsung) dari Mekkah, maka penjelasan itu tidak bisa beliau lakukan. Sebab, mereka tidak mungkin mengetahui hal-hal yang ada di langit, kalau beliau memberitahukannya kepada mereka. Sementara mereka pernah menyaksikan Baitul Maqdis, sehingga beliau pun mampu memberitahukan bentuknya.
الذى بر كنا حوله
(yang telah Kami berkahi sekelilingnya), artinya, yang telah Kami tetapkan berkah di sekelilingnya bagi penduduknya, dalam hal mata pencahariannya, makanan pokoknya, hasil pertanian dan tanaman-tanamannya [15]. Juga dengan banyaknya tanaman, sungai dan kesuburan yang tiada putus.[16]
لنر يه من ءايتنا
(agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami).
Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan, bahwa ini merupakan tanda-tanda (kekuasaan) yang Allah perlihatkan, berupa kejadian-kejadian menakjubkan, yang Rasulullah beritakan kepada orang-orang, mengenai perjalanan Isra’nya dari Mekkah menuju Masjidil Aqsha dalam satu malam. Yang semestinya biasa ditempuh dalam satu bulan perjalanan. Termasuk juga proses Mi’raj yang beliau alami disertai kemampuan menjelaskan keadaan para nabi satu-persatu, seperti terdapat dalam riwayat Shahih Muslim dan kitab lainnya”. [17]
Adapun menurut penjelasan Imam ath-Thabari: “(Kejadian-kejadian ini merupakan) pelajaran, dalil dan hujjah-hujjah Kami. Yaitu seperti tercantum dalam riwayat-riwayat yang beliau saksikan di tengah perjalanan menuju Baitul Maqdis, dan (juga) setelah pulang dari sana”.[18]
أنه هو السميع البصير
(Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat).
Penutup pada ayat ini, menetapkan dua nama Allah, yang berkorelasi dengan fakta-fakta di tengah masyarakat Quraisy dalam menyikapi kisah Israa’ dan Mi’raj, yang terbelah menjadi dua, yaitu yang membenarkan, dan yang mendustakan.
Imam ath-Thabari berkata, ”Sesungguhnya Dzat yang memperjalankan hambaNya pada malam hari, Dia Maha Mendengar ucapan kaum musyrikin. (Dia) Maha Mengetahui segala tindak-tanduk yang mereka kerjakan. Tidak ada sedikit pun yang tersembunyi. Juga tidak ada sesuatu pun yang luput dariNya. Allah meliputi segalanya dengan ilmuNya”. Ibnu Katsir menambahkan, makna untuk penggalan terakhir ayat ini dengan: “Sehingga nantinya, akan mendapatkan balasan sesuai dengan amalannya di dunia dan akhirat”.[20]
KEBERKAHAN-KEBERKAHAN SYAM; PALESTINA DAN SEKITARNYA
Al-Barakah, berarti utuhnya kebaikan dalam sesuatu obyek, disertai mengalami pertambahan. Keberkahan, hanya diketahui muncul dari Dzat yang memiliki dan mampu menampakkannya. Dia-lah Allah, Dzat yang menurunkan barakah dan menetapkannya.[22]
Allah telah menetapkan keberkahan bagi wilayah Syam. Dalil tentang penyebutan wilayah Syam sebagai bumi yang berkah banyak disebutkan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Wilayah ini, sebagaimana pemetaan pada masa lampau, meliputi Lebanon, Suriah, Yordania dan Palestina.
Dahulu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjadikan keberkahan Syam yang disebutkan oleh dalil-dalil, sebagai sarana untuk mendorong kaum Muslimin agar tetap menghuni Damaskus, tidak lari ke Mesir. Yaitu dengan melawan bangsa Tatar yang berusaha masuk untuk menaklukan Damaskus.
KEBERKAHAN SYAM DALAM AL-QURAN
Selain ayat pertama surat al Israa’ di atas, tidak kurang lima ayat yang menetapkan keberkahan bagi Syam. Diantaranya:
وَنَجَّينٰهُ وَلوطًا إِلَى الأَرضِ الَّتى بٰرَكنا فيها لِلعٰلَمينَ
“Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia”. [al Anbiyaa’/21:71]
Ibnu Katsir berkata, ”Allah memberitahukan tentang Ibrahim yang diselamatkan dari api buatan kaumnya, dan membebaskannya dari mereka dengan berhijrah ke Negeri Syam – tanah suci.
Allah berfirman :
وَلِسُلَيمٰنَ الرّيحَ عاصِفَةً تَجرى بِأَمرِهِ إِلَى الأَرضِ الَّتى بٰرَكنا فيها ۚ وَكُنّا بِكُلِّ شَيءٍ عٰلِمينَ
“Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu”. [al-Anbiyaa’/21:81].
وَجَعَلنا بَينَهُم وَبَينَ القُرَى الَّتى بٰرَكنا فيها قُرًى ظٰهِرَةً وَقَدَّرنا فيهَا السَّيرَ ۖ سيروا فيها لَيالِىَ وَأَيّامًا ءامِنينَ
“Dan kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman”. [Sabaa’/34:18].
KEBERKAHAN SYAM DALAM AS-SUNNAH
Lebih lanjut, diantara keberkahan Syam juga disebutkan dalam as-Sunnah.
1. Syam Merupakan Tempat Para Nabi
Syam menjadi tempat tinggal banyak nabi. Dari Nabi Ibrahim, yang hijrah ke Syam, Nabi Luth, Nabi Ya’qub, Nabi Musa, Nabi Isa, dan lainnya. Dan akhirnya, Allah menjadikannya sebagai milik umat Muhammad setelah bangsa Yahudi menempuh jalan kesesatan.
2. Perintah Nabi Untuk Bermukim Di Syam
Imam al Mundziri di dalam at-Targhib wat-Tarhib menuliskan, bab anjuran untuk bermukim di Syam, dan tentang keutamaan Syam.[23]
Dari Watsilah bin al Asqaa’, berkata: Aku mendengar Rasulullah berkata kepada Hudzaifah bin al Yaman dan Mu’adz bin Jabal yang sedang meminta pendapat beliau tentang tempat tinggal. Maka, beliau mengisyaratkan ke arah Syam. Mereka berdua kembali bertanya kepada beliau. (Dan) beliau mengisyaratkan ke arah Syam. Beliau bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالشَّامِ فَإنَّهَا صَفْوَةُ بِلَادِ اللهِ يَسْكُنُهَا خِيرَتُهُ مِنْ خَلْقِهِ..
“Beradalah kalian di Syam. Sesungguhnya ia merupakan negeri pilihan Allah, dihuni oleh makhluk pilihanNya.” [24]
Para ulama juga telah terbiasa merekomendasi untuk bermukim di Syam, sesuai petunjuk Rasulullah. Ketika ‘Atha al-Khurasani berniat pindah tempat tinggal, ia meminta pendapat para ulama yang ada di Mekkah, Madinah, Kufah dan Bashrah serta Khurasan.
‘Atha al Khurasani berkata kepada para ulama tersebut: “Menurut pendapatmu, ke mana saya mesti pindah dengan keluarga?”
Masing-masing menjawab: “Berangkatlah ke Syam.”
3. Malaikat Membentangkan Sayap Bagi Penduduk Syam
Dari Zaid bin Tsabit, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
طُوبَى لِلشَّامِ فَقُلْنَا لِأَيٍّ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّ مَلَائِكَةَ الرَّحْمَنِ بَاسِطَةٌ أَجْنِحَتَهَا عَلَيْهَا
“Keberuntungan bagi penduduk Syam.”
Maka kami bertanya, “Karena apa, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab,”Karena para malaikat membentangkan sayap-sayapnya kepada mereka (penduduk Syam)”.[25]
4. Tempat Keberadaan Thaifah Manshurah
لَا يَزَالُ أَهْلُ الْغَرْبِ ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
“Penduduk Gharb (yang berada di arah Barat) akan senantiasa menegakkan kebenaran sampai Kiamat datang.” [HR Muslim 13/68, Nawawi]
Imam Ahmad berkata, ”Ahli Gharb adalah penduduk Syam.” Dan jawaban ini disepakati oleh Ibnu Taimiyah dalam Manaqibisy-Syam wa Ahlihi, halaman 76-77.
5. Asqalan, Merupakan Tempat Penjagaan (Ribath) Penting
Ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Mu’jamul Kabir, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَوَّلُ هَذَا الْاَمْرِ نُبُوَّةٌ وَ رَحْمَةٌ ثُمَّ يَكُوْنُ خِلَافَةٌ ثُمَّ يَكُوْنُ مُلْكاً وَرَحْمَةٌ ثُمَّ يَتَكَادَمُونَ عَلَيْهِ َتكَادُمُ الْحُمُرِ. فَعَلَيْكُمْ بِالْجِهَادِ, وَإِنَّ أَفْضَلَ جِهَادِكُمْ الرِّبَاطُ, وَإِنَّ أَفْضَلَ رِِبَاطكُمْ عَسْقَلَانُ
“Permulaan dari perkara ini (Islam) adalah kenabian dan rahmat. Berikutnya tegaknya khilafah dan rahmat. Selanjutnya muncul kerajaan dan rahmat. Kemudian, orang-orang memperebutkannya, seperti kuda-kuda yang berebut. Maka, kewajiban kalian untuk berjihad. Sesungguhnya sebaik-baik jihad adalah ribath. Sebaik-baik tempat ribath adalah Asqalan.” [Ash Shahihah, 3270].
Asqalan telah dikenal sejak dahulu. Menempati tempat strategis di bibir pantai, ramai dengan perdagangan. Palestina tidak pernah ditaklukkan, kecuali diawali dengan penaklukkan Asqalan.
6. Cahaya Iman Memancar Dari Syam Saat Fitnah Berkecamuk
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنِّيْ رَأَيْتُ كَأَنَّ عَمُوْدَ الْكِتَابِ انْتُزِعَ مِنْ تَحْتِ وِسَادَتِيْ, فَأَتْبَعْتُهُ بَصَرِيْ. فَإِذَاهُوَ نُورٌ سَاطِعٌ عُمِدَ إلَى الشَّامِ ألَا وَإنَّ الْإيْمَانَ إذَا وَقَعَتْ الْفِتَنُ بِالشَّامِ
“Sesungguhnya saya melihat seakan-akan tonggak al Kitab telah tercabut dari bawah bantalku. Maka, aku mengikutinya dengan pandanganku. Tiba-tiba terdapat cahaya terang-benderang yang mengarah menuju Syam. Ketahuilah, sesungguhnya iman, apabila telah terjadi beragam fitnah, berada di Syam.” [Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 3092].
Al ‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah berkata, ”Rasulullah mengabarkan, bahwa tiang Islam, yaitu iman, pada saat terjadinya fitnah-fitnah, berada di Syam. Artinya, apabila fitnah-fitnah yang muncul telah mengancam agama Islam, maka penduduk Syam berlepas diri darinya. Mereka tetap istiqamah di atas iman. Jika muncul (fitnah yang) tidak mengancam agama, maka penduduk Syam mengamalkan konsekuensi iman. Apakah ada sanjungan yang lebih sempurna dari itu?”
Demikianlah, keberkahan tanah Palestina dan sekitarnya. Oleh karena itu Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali menjelaskan, bahwa kewajiban (kepada penduduk) Syam yang telah Allah berikan karunia dengan keutamaan-keutamaan ini, untuk melenyapkan noda-noda, kotoran-kotoran dan kekeruhannya. Sebagai upaya persiapan menyambut cahaya Islam (yang termuat dalam hadits-hadits) yang akan menguasai tanahnya. Meskipun orang-orang jahat membencinya.[26]
Salman al Farisi Radhiyallahu ‘anhu berkata :
إِنَّ الْأَرْضَ لَا تُقَدِّسُ أَحَدًا وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الْإِنْسَانَ عَمَلُهُ
“Sesungguhnya tanah suci tidak mensucikan siapapun. Yang mensucikan manusia adalah amalannya”. [Riwayat Imam Malik, 2/796].
Washalallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala alihi wa ash-habihi ajma’in.
Maraji’ (Rujukan-rujukan):
– Zadul Masir fi ‘Ilmit-Tafsir, Ibnul Jauzi, Maktabatul Islami, Cetakan III, Th. 1404H-1984M.
– Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi. Tahqiq Abdur Razzaq al Mahdi, Maktabah Rusyd, Cet. II, Th. 1420H-1999M.
– Majalah Manarusy-Syam, Edisi 1, Jumadal Ula 1425H dan Terbitan Markaz al Imam al Albani Lid-Dirasatil Manhajiyyah wal Abhats al ‘Ilmiyyah.
– Majalah al Ashalah, Edisi 30 Th. V, 15 Syawal 1421H, Markaz al Imam al Albani Lid Dirasatil Manhajiyyah wal Abhats al ‘Ilmiyyah.
– Silsilatul Ahaditsish-Shahihah, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah Ma’arif, Cet. Th. 1415H-1995M.
– Jami’ul Bayan ‘an Ta`wil Ayil-Qur`an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari, Darul Ihyaut Turatsil ‘Arabi. Cet. I, Th. 1421H-2001M.
– Shahihut-Targhib wat-Tarhib, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah Ma’arif Cet. I Th. 1421H-2000M
– Taisirul Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan Abdur Rahman bin Nashir as Sa’id. Tahqiq Abdur Rahman bin Mu’alla al Luwaihiq Muassasah Risalah Cet. I, Th. 1423H-2202M
– Al Irsyad ila Tash-hihil I’tiqad, Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan Maktabah al Ilm Jedah. Cet. I, Th. 1414H.
– Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, Abul Fida Ibnu Katsir ad Dimasyqi, Darul Kutubil ‘Ilmiyah Cet. II, Th. 1422H-2001M.
– Syarhul ‘Aiqdatith-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, takhrij Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabul Islami, Cet. VIII, Th. 1404H-1984M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus (7-8)/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

RIAU-LINGGA SULTANATE

Kepulauan Riau adalah bagian dari Kekaisaran Malaka sejak ekspansi dengan Tun Perak di abad ke-15, menyusul regresi sebelumnya dari Kekaisaran Sriwijaya di wilayah tersebut. Sumbu kekuatan regional kemudian mewarisi Kesultanan Johor setelah jatuhnya Malaka di bawah tangan penjajah Portugis . Selama zaman keemasan Johor, kerajaan membentang di setengah dari Melayu Semenanjung , timur Sumatera , Singapura, Bangka , Jambi dan Kepulauan Riau.
Hal itu dinyatakan dalam Johor Annals of 1849, yang pada 27 September 1673 yang Laksamana (Laksamana) dari Johor, Tun Abdul Jamil diperintahkan oleh Abdul Jalil Shah III untuk membuka pemukiman di Sungai Carang, Ulu Riau, di Pulau Bintan . Pemukiman di Sungai Carang kemudian dikenal sebagai Lama Riau. Awalnya benteng untuk melindungi Kekaisaran Johor, daerah kemudian makmur menjadi Entrepôt pusat perdagangan regional yang menjadi terkenal di Selat Malaka .
Ulu Riau menjadi ibukota Johor pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim ketika ia pindah ibukota Batu Sawar, Kota Tinggi di Semenanjung Johor ke Lama Riau setelah ibukota lama dipecat oleh Jambi pasukan pada tanggal 4 Oktober 1722. Lama Riau kemudian menjadi ibukota kekaisaran selama 65 tahun dari 1722 ke 1787. [1]
Pentingnya Lingga dimulai pada penobatan Sultan Mahmud III di 1761. Dia pindah ibukota di Riau Lama, Ulu Riau, Bintan ke Daik , Lingga tahun 1788. relokasi tersebut dilakukan sebagai Sultan percaya bahwa ia sedang dikurangi menjadi hanya boneka di bawah Belanda. Dia kemudian meminta bantuan dari saudara jauh nya, Raja Ismail, seorang penguasa lokal Tempasuk untuk mengatur kampanye sistematis terhadap Belanda. Kampanye terbukti berhasil. Sultan mengucapkan terima kasih kepada pelaku dan dihargai mereka dengan hadiah.
Dalam takut akan pembalasan oleh Belanda, ia mengorganisir transfer massa rakyat: Sultan berangkat ke Lingga dengan 2000 orang, Bendahara ( wazir ) ke Pahang dengan 1000 orang sementara yang lain menuju ke Terengganu . Ketika Belanda tiba di Riau, hanya ada pekebun Cina beberapa kiri, yang membujuk Belanda untuk tidak mengejar Melayu Orang-orangutan ( orang Melayu ).
Sultan kemudian berkembang Lingga dan menyambut pendatang baru ke pulau, Dato Kaya Megat diangkat sebagai Bendahara baru Lingga. Tempat tinggal baru dibangun, jalan dibangun dan bangunan ditingkatkan. Dia menemukan kekayaan belum pernah terjadi sebelumnya baru ketika tambang timah yang diselenggarakan di Singkep. Baik Inggris dan Belanda kemudian dikembalikan klaimnya atas pulau Riau. Dia mulai untuk menghidupkan kembali perdagangan maritim sebagai sumber utama komoditas, terutama berharga timah , gambir dan rempah-rempah diam-diam dengan Inggris.

Asal

Pada tahun 1812, Kesultanan Johor-Riau mengalami krisis suksesi. Kematian Mahmud Shah III di Lingga tidak meninggalkan ahli waris . Selama kematian Mahmud Shah III, pangeran tertua, Tengku Hussein di Pahang untuk merayakan pernikahannya dengan putri dari Bendahara (gubernur); Namun, hal itu diperlukan oleh kerajaan kustom bahwa sultan berturut harus dengan pendahulunya di nya sekarat .
Untuk lebih rumit hal ini, kedua kandidat kerajaan tidak royalti berdarah penuh dalam asal. Ibu dari Tengku Hussein, Cik Mariam berutang asal ke sebuah Bali wanita budak dan Bugis biasa. Kandidat lainnya adalah Tengku Hussein saudara tiri, Tengku Abdul Rahman yang sama memiliki yg keturunan rendah ibu, Cik Halimah. Satu-satunya kerajaan istri tidak diragukan lagi dan permaisuri dari Mahmud Shah adalah Engku Putri Hamidah, tetap hanya anaknya meninggal satu jam setelah lahir.
Dalam kekacauan berikutnya, Engku Putri diharapkan untuk menginstal Tengku Hussein menjadi sultan berikutnya, karena ia telah disukai oleh almarhum Mahmud Shah. Berdasarkan royal adat (ketaatan adat), persetujuan dari Engku Puteri sangat penting karena dia pemegang Cogan ( Royal Regalia ) dari Johor-Riau, dimana instalasi sultan hanya akan diratifikasi oleh kehadiran regalia . Meskipun demikian, Yang Dipertuan Muda Jaafar (lalu- viceregal kesultanan) mendukung enggan Tengku Abdul Rahman, berpegang pada aturan istana, karena ia hadir di ranjang Sultan an.
Mau dan marah, Ratu vokal kemudian dilaporkan telah mengatakan, “Siapa yang terpilih Abdul Rahman sebagai berdaulat Johor? Apakah itu saudara saya Raja Jaafar atau apa hukum suksesi memiliki hal itu terjadi? Hal ini karena tindakan ini ketidakadilan bahwa kerajaan kuno Johor cepat jatuh membusuk “. Posisi regalia itu mendasar untuk instalasi sultan; itu adalah simbol kekuasaan, legitimasi dan kedaulatan negara. Kepemilikan regalia itu setara dengan kepemilikan Kekaisaran Johor-Riau.
Berutang kepada kepentingan politik meningkat menulis melawan Belanda di wilayah tersebut, Inggris mulai menyebarkan pengaruh mereka dan dinobatkan Tengku Hussein di Singapura, bertuliskan nama Hussein Shah dari Johor . Inggris terlibat aktif dalam pemerintahan Johor-Riau antara 1812-1818, intervensi mereka di Johor-Riau diperkuat dominasi mereka di Selat Malaka. Mereka sebelumnya telah memperoleh Malaka dari Belanda di bawah Perjanjian The Hague pada tahun 1795. Inggris kemudian mengakui Johor-Riau sebagai negara yang berdaulat dan mengusulkan untuk membayar Engku Puteri 50.000 Ringgit ( Koin Spanyol ) untuk Royal Regalia, yang ia menolak.
Mengamati kontrol diplomatik yang cepat dari wilayah oleh Inggris, Belanda mulai mengikuti Inggris dengan mahkota Tengku Abdul Rahman sebagai sultan sebagai gantinya. Belanda kemudian mencoba untuk mengontrol dominasi Inggris dengan memasukkan Perjanjian Wina pada tahun 1818. The Kongres Wina itu dianggap sah oleh Belanda, dan pengakuan kedaulatan Johor-Riau oleh Inggris dianggap batal . Untuk lebih mengurangi dominasi Inggris di kawasan ini, Belanda mengadakan perjanjian dengan Kesultanan Johor-Riau pada tanggal 27 November 1818. Perjanjian tersebut menetapkan bahwa Belanda akan menjadi pemimpin tertinggi dari Kesultanan Johor-Riau dan hanya Belanda bisa terlibat dengan perdagangan dengan kerajaan. Sebuah garnisun Belanda kemudian ditempatkan di Riau. [2] Itu diatur lebih lanjut bahwa pengangkatan berikutnya dari Johor-Riau Sultan harus menyetujui oleh Belanda. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar mewakili Abdul Rahman tanpa persetujuannya atau pengetahuan.
Cogan , Royal Regalia dari Johor-Riau, penobatan sultan akan hanya disahkan dengan kehadiran regalia itu. Hal ini menyebabkan kedua Inggris dan Belanda mencoba untuk mengklaim regalia dari Engku Puteri Hamidah untuk menginstal sultan yang mereka sukai.
Mirip dengan misi memulai oleh Inggris, baik Belanda dan Yang Dipertuan Muda kemudian mati-matian mencoba untuk memenangkan Royal Regalia dari Engku Puteri. The enggan Abdul Rahman, percaya dia bukan pewaris sah tahta memutuskan untuk pindah dari Lingga ke Terengganu , mengklaim bahwa ia ingin merayakan pernikahannya. Belanda, yang diinginkan untuk mengontrol Kekaisaran Johor-Riau, yang takut kehilangan momentum hanya karena tidak adanya sebuah regalia belaka, kemudian memberitahu Timmerman Tyssen, Gubernur Belanda Malaka, untuk merebut Penyengat di Oktober 1822 dan dihapus Royal Regalia dari Tengku Hamidah dengan paksa. Regalia itu kemudian disimpan di Kroonprins (Belanda: Crown Prince) Fort di Tanjung Pinang. Engku Puteri kemudian dilaporkan telah menulis surat kepada Van Der Capellen , Gubernur Belanda di Batavia tentang masalah ini. Dengan Royal Regalia di tangan Belanda, Abdul Rahman diundang dari Terengganu dan dinyatakan sebagai Sultan Johor, Riau-Lingga dan Pahang pada tanggal 27 November 1822. Oleh karena itu, legitimasi Kekaisaran Johor-Riau kini diberikan kepada Abdul Rahman, bukan dari Hussin yang didukung Inggris.
Hal ini menyebabkan partisi dari Johor-Riau di bawah perjanjian Inggris-Belanda 1824, dimana wilayah utara Selat Singapura termasuk pulau Singapura dan Johor yang berada di bawah pengaruh Inggris, sedangkan sebelah selatan dari selat bersama dengan Riau dan Lingga itu harus dikuasai oleh Belanda. Dengan memasang dua sultan dari kerajaan yang sama, baik Inggris dan Belanda secara efektif menghancurkan sistem pemerintahan Johor-Riau dan memenuhi kebutuhan masing-masing ambisi kolonial mereka.
Di bawah perjanjian itu, Tengku Abdul Rahman dinobatkan sebagai Sultan Riau-Lingga bertuliskan nama Sultan Abdul Rahman, dengan kursi kerajaan di Daik, Lingga. Sementara Tengku Hussein yang didukung oleh Inggris dinobatkan sebagai Sultan Johor dan memerintah atas Singapura dan Semenanjung Johor, ia kemudian menyerahkan Singapura kepada Inggris sebagai imbalan atas dukungan mereka selama sengketa. Kedua sultan Johor dan Riau bertindak terutama sebagai raja boneka dilindungi di bawah bimbingan penjajah.

Sengketa internal

Pada tanggal 7 Oktober 1857, administrator Belanda digulingkan Mahmud IV dari tahtanya untuk kampanye untuk membuang baik Belanda dan Yang Dipertuan Muda Hegemoni. Sultan diperebutkan bahwa kerajaannya sedang sangat dimanipulasi oleh Belanda dan Yang Dipertuan Muda. Dia sering bepergian ke Singapura, Terengganu dan Pahang untuk mendapatkan dukungan dan pengakuan untuk kekuasaannya oleh Inggris dan lingkaran keluarga terdekat di lain Melayu Kerajaan Rumah terhadap rumah viceregal Riau yang berasal dari Bugis saham. Ini juga dibuat atas dasar bahwa ia percaya bahwa ia adalah pewaris sah tahta Johor-Riau sebelumnya lebih Hussein Shah dari Johor.
Tindakan bumerang pada Sultan, sebagai tindakannya bertemu dengan kecurigaan oleh Inggris. Inggris kemudian memperingatkan Belanda bahwa ia melanggar Anglo-Belanda Perjanjian 1824 oleh pengikut dari negara kolonial Belanda. Marah dan malu oleh Sultan, Belanda kemudian melarangnya bepergian tanpa persetujuan mereka. Meskipun demikian, semua larangan ini diabaikan oleh Sultan.
krisis mencapai puncaknya pada tahun 1857, ketika mengikuti kematian Yang Dipertuan Muda, Sultan menunda untuk nama penggantinya Yang Dipertuan Muda. Hal ini disebabkan fakta bahwa Sultan tidak setuju dengan calon yang ditawarkan oleh keluarga Yang Dipertuan Muda. Sultan kemudian mencoba untuk nama calon dari Singapura dan mengklaim bahwa pendapatan yang diperoleh oleh Yang Dipertuan Muda harus dibayarkan kepadanya.
Pukulan terakhir datang ketika ia memutuskan untuk berlayar ke Singapura tanpa menetap masalah meskipun larangan Belanda. Ditantang oleh Sultan, Belanda kemudian memecatnya dari takhta sementara ia berada di Singapura. Sultan kemudian tetap di Singapura dan berusaha untuk mencari untuk mediasi dengan Belanda. Inggris kemudian memutuskan untuk tidak mengganggu masalah melawan Belanda.

Transisi

In Riau, the Dutch and Yang Dipertuan Muda later enthroned his uncle, Sultan Badrul Alam Syah II to be the fourth Sultan of Riau (1857-1883). He was assisted by Yang Dipertuan Muda IX Raja Haji Abdullah (1857-1858). During his reign, Daik was met with unprecedented prosperity. The Sultan improved the local economy by encouraging rice cultivation and opium preparation. Dia juga Possessed a small armada to promote trade relations. He introduced sago from the Moluccas to the local people which he believed was a better substitute than rice as a staple food, as rice can be only harvested once yearly. The area then become a regional trade centre Attracting traders from China , Celebes , Borneo , Malay Peninsular , Sumatra , Pagaruyung , Java , Siak , Pahang to Daik.
Ini khawatir Belanda, seperti yang dikhawatirkan bahwa kesultanan bisa mendapatkan cukup persediaan dan kekuatan untuk mengalahkan mereka. Karena rasa takut ini, Belanda menunjuk seorang asisten residen yang akan ditempatkan di Tanjung Buton, port dekat dengan Mepar Island, 6 kilometer dari pusat administrasi Riau.
Globalisasi disaksikan di abad ke-19 membuka peluang baru di Riau Lingga-Kesultanan. Dekat dengan kosmopolitan Singapura terletak hanya 40 mil jauhnya berbentuk iklim politik kerajaan. Ini adalah kesempatan bagi orang Melayu Riau untuk membiasakan diri dengan ide-ide baru di Timur Tengah . Pembukaan Terusan Suez memungkinkan bahwa perjalanan ke Mekah melalui Port Said , Mesir dan Singapura akan dikurangi menjadi dua minggu, sehingga kota-kota menjadi pelabuhan utama untuk haji haji, rute penting di Dunia Islam di mana umat Islam di seluruh dunia dapat mengumpulkan, bertemu dan bertukar berbagai perspektif dan pandangan.
Terinspirasi oleh pengalaman dan kemajuan intelektual dicapai di Timur Tengah dan dipengaruhi oleh Pan-Islamisme persaudaraan, yang intelligentsias Melayu Riau didirikan Roesidijah (Club) Riouw tahun 1895. Asosiasi lahir sebagai lingkaran sastra untuk mengembangkan agama, budaya dan intelektual kebutuhan dari kesultanan, tetapi sebagai asosiasi matang, itu berubah menjadi organisasi yang lebih kritis dan muncul untuk mengatasi perang melawan pemerintahan Belanda di kerajaan. [4]
Era ini ditandai dengan kesadaran lahir oleh elit dan penguasa tentang pentingnya watan ( tanah air ) dan tugas seseorang terhadap tanah asli nya. Agar berhasil membangun watan , tanah dianggap independen dan berdaulat , jauh-teriakan dari sebuah kesultanan yang dikuasai Belanda. Selain itu, ia juga melihat bahwa penetrasi barat di negara bagian secara perlahan merobek kain dari Melayu-Muslim identitas.
Dengan awal abad ke-20, itu jelas bahwa asosiasi itu alat politik untuk bangkit melawan penjajah, dengan Raja Muhammad Thahir dan Raja Ali Kelana bertindak sebagai backbone-nya. Misi diplomatik yang memulai untuk membebaskan kerajaan oleh Raja Ali Kelana disertai dengan terkenal Pattani -born Ulama , Syeikh Wan Ahmad Fatani ke Kekaisaran Ottoman pada tahun 1883, 1895 dan tahun 1905.
Kolonial Belanda Kantor di Tanjung Pinang kemudian mengklaim organisasi sebagai versetpartai (Belanda: Kiri-bersandar partai). Organisasi ini juga memenangkan dukungan penting dari Mohakamah (Melayu Peradilan) dan Dewan Kerajaan (Kesultanan Dewan Administratif). Organisasi telah kritis dipantau dan diteliti setiap langkah yang telah diambil oleh Kolonial Belanda Resident berkaitan dengan administrasi kesultanan, yang menyebabkan kemarahan dari Belanda.
Sebuah peta Belanda Residentie Riouw en Onderhoorigheden (Residence Riau dan Dependensi) pada tahun 1860.
Gerakan ini merupakan bentuk awal dari nasionalisme Melayu . Non-kekerasan dan perlawanan pasif langkah-langkah yang diadopsi oleh asosiasi. Aparat utama gerakan itu untuk mengadakan boikot sebagai tindakan simbolisme. Belanda Colonist kemudian dicap gerakan sebagai leidelek verset (Belanda: Perlawanan pasif), tetap dengan langkah-langkah pasif seperti mengabaikan pengibaran bendera Belanda tetap bertemu dengan kemarahan oleh Batavia berbasis Raad van Indie (Dutch East Indies Dewan ) dan Penasehat Urusan Pribumi, Christiaan Snouck Hurgronje . Berdasarkan EHEIM (Belanda: rahasia) huruf 660 / G, tanggal 7 Mei 1904 dengan Hindia Belanda Council oleh Hurgronje, ia menganjurkan bahwa kesultanan dan asosiasi hancur mirip dengan sebelumnya Perang Aceh .
Alasan yang dibuat oleh Hurgronje adalah karena beberapa faktor, di antaranya sejak 1902 anggota Roesidijah Klub akan berkumpul di sekitar istana dan mereka akan menolak untuk menaikkan bendera Belanda di kapal pemerintah. Laporan itu muncul dengan Kolonial Belanda Residen di Riau, AL Van Hasselt kepada Gubernur Hindia Belanda bahwa Sultan adalah lawan ke Belanda dan tenggelam dengan sekelompok hardcore verzetparty . Kemudian, pada tanggal 1 Januari 1903, Kolonial Belanda Resident menemukan bahwa bendera Belanda tidak dibesarkan selama kunjungannya ke istana kerajaan. Dalam laporannya kepada Gubernur ia menulis; “tampaknya ia (Sultan Abdul Rahman II) bertindak seolah-olah ia adalah seorang raja yang berdaulat dan mengangkat bendera sendiri”. Berdasarkan beberapa catatan di Arsip Nasional Indonesia, ada beberapa laporan bahwa Sultan kemudian meminta maaf kepada gubernur karena “insiden bendera”.
Dalam jawabannya Belanda Dewan Hindia pada EHEIM surat bernomor Agustus 1904 1036 / G 9, dewan memang menyepakati usulan memulai dengan Hurgronje dan tindakan yang akan diambil terhadap asosiasi nasionalis. Meskipun demikian, saran untuk Sultan adalah untuk menjadi yang pertama untuk mengajukan aksi militer terhadap kerajaan dan asosiasi. Dewan kemudian menyarankan Residen Belanda di Riau untuk menghindari memasuki perjanjian kontrak sebelum mencapai konsensus dengan elit yang berkuasa dari Kesultanan Riau-Lingga.

Pembubaran oleh Belanda

Pada tanggal 18 Mei 1905, Belanda membuat perjanjian baru dengan sultan, di antara bagian-bagian dari perjanjian ini adalah untuk lebih membatasi kekuasaan Kesultanan Lingga, yang bendera Belanda harus dinaikkan lebih tinggi dari bendera Riau dan pejabat Belanda akan diberi kehormatan tertinggi di negeri itu. Perjanjian tersebut diatur lebih lanjut bahwa Kesultanan Riau-Lingga adalah hanya achazat (Belanda: pinjaman) dari Pemerintah Belanda. Perjanjian tersebut dibuat karena fakta bahwa pengangkatan Sultan Abdul Rahman II (1885-1911) tidak dibuat oleh persetujuan dari Belanda dan ia juga jelas melawan kekuasaan kolonial.
Belanda bersikeras sultan untuk menandatangani perjanjian, namun setelah menyetujui sesama penguasa negara Engku Kelana, Raja Ali, Raja Hitam dan anggota lain dari elit penguasa, sultan akhirnya menolak untuk menandatangani perjanjian. Abdul Rahman II kemudian memutuskan untuk membentuk sebuah resimen militer di bawah pimpinan pangeran bupati, Tengku Umar. Afiliasi dari Roesidijah Klub yang terutama anggota kelas administrasi terlihat mampu perlahan bermanuver Abdul Rahman yang pernah menjadi pendukung pemerintahan Belanda untuk bertindak melawan keinginan kolonial.
ketidaksepakatan kemudian mencapai puncaknya ketika Raja Ali Kelana, Raja Khalid Hitam dan Raja Haji Muhammad Tahir dan anggota lain dari kelas penguasa menentang menerima perjanjian bertujuan oleh Belanda. Sultan kemudian menunjukkan penolakannya untuk bekerja sama dengan Belanda dengan mengacu menterinya tanpa persetujuan dari Belanda. Selama kunjungan Residen Belanda untuk Penyengat, sultan memanggil para amir (penguasa Melayu lokal) dari Reteh, Gaung dan Mandah yang warga merasa bahwa seolah-olah ia sedang dikepung oleh kesultanan.
Pembubaran Kesultanan Seperti Dilaporkan di Rotterdam Nieuwe Rotterdam Courant pada tanggal 19 Februari tahun 1911.
Resolusi berani memulai dengan pejabat sultan dan sesama tidak disambut oleh pemerintahan Belanda. Berdasarkan jurnal dicatat oleh Syahbandar ( Harbourmaster ), keputusan Sultan ditertawakan oleh Residen Belanda, GF Bruijn Kops yang menyatakan “mereka dibentuk sultan untuk membalas (melawan Belanda), maka pembalasan (oleh Belanda) ia akan diterima “.
Dengan demikian, pada pagi hari 11 Februari 1911, Belanda kapal Angkatan Laut Jawa, Tromp dan Koetai Torpedo Boat berlabuh di Pulau Penyengat mengerahkan ratusan marechausse (Belanda: pribumi tentara) pengepungan istana. Acara ini terungkap ketika sultan dan pejabat pengadilan berada di Daik untuk melakukan Mandi Safar (a memurnikan mandi ritual).
Ini diikuti oleh kedatangan pejabat Belanda KM Voematra untuk Roesidijah Klub markas dari Tanjung Pinang untuk meninggalkan Abdul Rahman II dari singgasananya. [6] Pada surat pengunduran dibaca oleh pejabat Belanda, ia mengejek putra mahkota dan anggota lain dari Roesidijah Klub sebagai “sebagai orangutan berniat bermusuhan DENGAN Sri Padoeka Gouvenrnement Hindia Nederland” (individu yang pelabuhan permusuhan terhadap mulia Gubernur Hindia Belanda).
Setelah kebuntuan militer dan serangan politik oleh Belanda, eksodus massal warga sipil dan pejabat untuk Johor dan Singapura tercatat. Regalia resmi dan Alat Pemberi kemudian disita kantor kolonial Belanda. [7] Dalam kekhawatiran kejang lanjut oleh Belanda, banyak bangunan resmi sengaja dihancurkan oleh anggota pengadilan itu sendiri.
Untuk menghindari kekerasan dan kematian warga sipil di Pulau Penyengat, Sultan dan para pembesar memutuskan untuk tidak melawan pasukan Belanda. Sultan dan Tengku Ampuan (Ratu) meninggalkan kursi di Pulau Penyengat dan berlayar menuju Singapura melalui kapal kerajaan Sri Daik , sementara Putra Mahkota Raja Ali Kelana, Khalid Hitam dan gerakan tahan di Bukit Bahjah diikuti beberapa hari kemudian. Belanda kemudian turun tahta sultan in absentia pada tanggal 3 Februari 1911. digulingkan Abdul Rahman II terpaksa hidup di pengasingan di Singapura.
Belanda secara resmi menganeksasi kesultanan untuk menghindari klaim masa depan dari monarki. Belanda kemudian mulai rechtreek bestuur (Belanda: aturan Langsung) di Kepulauan Riau pada tahun 1913, provinsi ini diberikan sebagai Residentie Riouw en Onderhoorigheden (Belanda: Residence Riau dan Dependensi) oleh Belanda. Belanda Hotel terdiri Tanjung Pinang, Lingga, Riau dan Indragiri, yang Tudjuh Nusantara sedang diberikan secara terpisah sebagai “Afdeeling Poelau-Toedjoeh” (Belanda: Divisi Pulau Tudjuh).
Sultan kemudian mengajukan banding ke administrasi Inggris untuk bantuan, meskipun diberi tempat tinggal dan perlindungan di Singapura, Inggris cukup enggan untuk mengganggu pemerintahan Belanda. Misi diplomatik dibawa ke Kekaisaran Jepang oleh Raja Khalid Hitam pada tahun 1911 dan Kekaisaran Ottoman oleh Raja Ali Kelana pada tahun 1913 untuk menyerukan pemulihan kesultanan.
Sultan bahkan pada satu titik ingin turun tahta dalam mendukung anaknya, Tengku Besar negosiasi yang dianggap sia-sia. Sultan meninggal di Singapura pada tahun 1930. Beberapa anggota keluarga kerajaan kemudian diperebutkan klaim mereka untuk diakui sebagai sultan.Sebagai Perang Dunia II meletus di Asia Timur, Belanda awalnya tampaknya cukup enggan untuk mempertahankan wilayahnya di Hindia . Hal ini mendorong Inggris untuk membuat negara penyangga di Riau. Mereka membahas dengan Tengku Omar dan Tengku Besar, keturunan sultan yang kemudian berbasis di Terengganu pada prospek untuk kebangunan rohani. Sebagai perang mendekati Asia Tenggara , Belanda secara aktif terlibat dalam sistem pertahanan bersama Inggris, Inggris kemudian memutuskan untuk menunda rencana restorasi.
Sebagai buntut dari perang dan perjuangan melawan pemerintahan Belanda, beberapa asosiasi pengasingan yang dikenal sebagai Gerakan Kesultanan Riau (Gerakan Kesultanan Riau) muncul di Singapura dan berencana untuk restorasi. Beberapa kelompok tanggal sedini masa kejayaan pembubaran kesultanan, tetap saja mereka mulai mendapatkan momentum setelah kebingungan pasca perang dunia dan politik.
Naik dari abu ketidakpastian politik dan kerapuhan Hindia setelah Perang Dunia II , sebuah royalis fraksi dikenal sebagai Persatoean Melayu Riouw Sejati (PMRS) (Asosiasi Adat Riau Melayu) muncul untuk menyerukan pemulihan Riau-Lingga Kesultanan. Dewan ini secara finansial didukung oleh kaya Riau emigran Melayu dan pedagang Cina yang berharap untuk mendapatkan konsesi timah. Awalnya didirikan di High Street, Singapura, asosiasi pindah ke Tanjung Pinang, Riau bawah persetujuan belum pernah terjadi sebelumnya oleh administrator Belanda. Berbasis di Tanjung Pinang, kelompok berhasil mendapatkan persetujuan dari Belanda untuk pemerintahan sendiri di wilayah dengan dasar Dewan Riouw (Belanda: Riouw Raad, English: Riouw Council), yang Riouw Raad adalah diserahkan nasional, unikameral legislatif Riau, posisi setara dengan DPR . [11]
After the establishment in Tanjung Pinang, the group later formed a new organisation known as Djawatan Koewasa Pengoeroes Rakjat Riow (The Council of Riau People Administration), with the members hailing from Tudjuh Archipelago , Great Karimun , Lingga dan Singkep . This group strongly maintain to restore the sovereignty of the Riau-Lingga Sultanate after the status of Indonesia was solidified.
Kelompok ini dirasakan bahwa posisi Melayu Riau diabaikan bawah mengorbankan Indonesia yang non-Riau yang telah mendominasi jajaran atas pemerintahan sipil Riau. Dengan mengembalikan monarki, mereka percaya posisi Melayu Riau akan dijaga. Pemimpin dewan, Raja Abdullah mulai menganjurkan gagasan ini terhadap pendatang baru.
Bangunan Riouw Raad dengan Encik Mohamad Apan (tengah, don bawah peci ) pemimpin sementara dewan, dengan anggota lain dari Riouw Raad selama pengangkatan Resident Provinsi pada 4 Agustus 1947.
Asosiasi royalis tetap disambut dengan perlawanan oleh republik kelompok yang dipimpin oleh Dr. Iljas Datuk Batuah yang sama mengirim delegasi ke Singapura untuk melawan propaganda dari para pendukung kesultanan. Berdasarkan arsip Indonesia, Dr. Iljas memperoleh persetujuan dari pendatang baru non-Riau ( Minangkabau , Jawa , Batak , Palembagese , India , Arab , antara beberapa). Dia kemudian membentuk kelompok yang dikenal sebagai Badan Kedaulatan Indonesia Riouw (BKRI) (Sovereign Tubuh Riau Indonesia) pada tanggal 8 Oktober 1945. Organisasi ini berusaha untuk menyerap Kepulauan Riau ke lalu- Indonesia yang baru merdeka , sebagai negara kepulauan itu masih dipertahankan di bawah penjajahan Belanda kekuasaan. BKRI berharap bahwa pemerintahan baru di bawah Soekarno akan diberikan kesempatan yang adil bagi pribumi untuk menjalankan pemerintah daerah.
Asosiasi royalis berusaha untuk tidak menunjukkan publik simpati terhadap gerakan Indonesia, ini adalah jauh jelas untuk penolakan asosiasi untuk menampilkan Bendera Merah-Putih ( Flag Indonesia ) selama Hari Kemerdekaan Indonesia perayaan 17 Agustus 1947 di Singapura. Akibatnya, hal ini menyebabkan kaum republiken untuk memanggil royalis sebagai pro-Belanda. Royalis Namun, menyatakan bahwa Riau sudah menjadi wilayah Belanda dan hanya Belanda yang dapat membantu dengan tangan membantu.
The flag of Federasi Bangka Belitung dan Riau (Bangka Belitung and Riau Federation). An autonomous territory held under the Dutch in United States of Indonesia until 1950.
Klaim dicari oleh BKRI itu dimentahkan dengan memberikan suatu aturan otonom kepada Dewan Riau, di mana ia akan menjalankan otonomi maksimum, di mana hubungan dengan Belanda akan dipertahankan sementara restorasi royalti akan bermain sebagai peran sekunder. Peresmian dewan itu dibuat pada tanggal 4 Agustus 1947. Pembentukan dewan merupakan langkah besar untuk kebangkitan sistem monarki, beberapa anggota kunci dari PMRS terpilih untuk Dewan Riau bersama menyaingi BKRI, yang kapitans Cina dari Tanjung Pinang dan Pulau Tujuh, para pemimpin Melayu lokal Lingga dan Belanda Pejabat di Tanjung Pinang. Ini dibentuk di bawah pertimbangan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia 12 Juli 1947. Kemudian pada tanggal 23 Januari 1948, negara Bangka Dewan, Dewan Belitung, dan Dewan Riau digabung sebagai Bangka Belitung dan Federasi Riau .
Panggilan untuk kebangkitan sistem monarki terus menggema di seluruh aturan otonom di bawah Dewan Riau Belanda buatan, meskipun fakta bahwa pengaruh republikanisme semakin kuat. Banding mulai mereda menyusul pembubaran Federasi Bangka Belitung dan Riau pada 4 April 1950. Kepulauan Riau secara resmi dimasukkan menjadi Kabupaten Indonesia setelah penarikan resmi oleh Belanda pada tahun 1950. Wilayah ini menjadi Keresidenan Riau di bawah Provinsi Sumatera Tengah berikut penyerapan oleh Amerika Serikat dari Indonesia . Menjadi salah satu wilayah terakhir bergabung ke Indonesia, Riau dikenal sebagai daerah-daerah adalah pulihan (pulih daerah).
Pemimpin pasukan Riau, Mayor Raja Muhammad Yunus yang memimpin upaya untuk membangun kembali kesultanan selain Indonesia melarikan diri ke pengasingan di Johor setelah upaya sakit nya. The akar geopolitik dari Kepulauan Riau telah dibentuk posisi nasionalis akan terjepit di antara kerabat monarki Peninsular Malay Nasionalisme diamati di seberang perbatasan di British Malaya dengan pro-republik dan pan-etnis Nasionalisme Indonesia diwujudkan dalam sendiri Hindia Belanda domain.

Pemerintah

Dalam pemerintahan Kesultanan Riau, Sultan bertindak sebagai Kepala Negara . Sementara Dipertuan Muda / Yamtuan Muda (wakil penguasa atau Viceroy) adalah posisi inheren tahan dengan Bugis penguasa elit yang berfungsi sebagai Kepala Pemerintahan . Setelah partisi dari Johor-Riau, posisi Yang Dipertuan Muda semata-mata dipertahankan di Kesultanan Riau-Lingga.
The sultan s royal palace was located in Penyengat Inderasakti and the Yang Dipertuan Muda resides in Daik, Lingga. It was perceived that the Malay Sultan shall be dominant in Lingga and its dependensi, sedangkan Bugis Yang Dipertuan Muda would have the control in Riau (consisting Bintan, Penyengat and the surrounding islands), with each respective rulers will not have any claim against the revenues of the other. The sphere of control would only begun to Dilute during the time of Yang Dipertuan Muda Yusuf Ahmadi.
Riau nanti menjadi jantung dari pengaruh politik Bugis di barat Dunia Melayu . Perlu dicatat bahwa bagaimanapun, pembagian kekuasaan antara Melayu dan Bugis tidak bertemu tanpa perselisihan besar antara dua rumah.

Adat

Onderkoning Van Riau (Dutch: Viceregal of Riau) as stated on the Segel (royal seal) Yang Dipertuan Muda Abdullah between 1857-1858, the XI Yang Dipertuan Muda of Riau Lingga. The seal further stipulated in a fusion of Arab – Malay written in Jawi script Al Watik Baladun Al Aziz Al Ghaffar Sultan Alauddin Syah Ibni Al Marhum Raja Jaafar 1273-Hijrah (lit: the trusted governor, the powerful, the protector, Sultan Alauddin Syah Ibni Al Marhum Raja Jaafar, Year 1273 AH (1856 AD )
The adat istiadat (custom) menyerukan pemisahan kekuasaan dan janji setia yang disebut Persetiaan Sungai Baru (The Sumpah Sungai Baru) dilantik antara Bugis dan Melayu dan diperpanjang selama lima kali antara 1722-1858. Di bawah adat, hanya orang Melayu dapat menjadi sultan dan posisi Yang Dipertuan Muda disediakan secara eksklusif ke Bugis. [12]
Sistem tradisional dipertahankan sampai penunjukan Abdul Rahman II, sultan terakhir dari Riau-Lingga. Ayah Abdul Rahman, Raja Muhammad Yusuf, adalah seorang bangsawan Bugis dan 10 dan yang terakhir Yang Dipertuan Muda Riau. Ia menikah dengan Tengku Fatimah, putri Sultan Mahmud dan satu-satunya anggota totok dari royalti Melayu.
On 17 September 1883, in wake of the death of Badrul Alam Syah II, the Bugis-Malay elites voted for Tengku Fatimah as his successor, becoming the first queen regnant in the history of the empire since the Malaccan period. Nearly a month later, on 13 October another gathering was convened, on this occasion Abdul Rahman II, was crowned as the new sultan after Tengku Fatimah voluntary abdicated in favour of her son.
Sebaliknya, Abdul Rahman II juga di baris pertama dari suksesi ke posisi Yang Dipertuan Muda. Pada tahun 1895, yang terakhir dari janji kesetiaan disumpah dan dibuat sebagai kesimpulan akhir antara sultan dan ayahnya, yang terakhir Yang Dipertuan Muda. Ayahnya kemudian meninggalkan posisinya sebagai Yang Dipertuan Muda. Ini bersama-sama menandai sebagai simbol persatuan antara Bugis dan dinasti Melayu. Dengan demikian, memperkuat konsolidasi dari Sultan dan Yang Dipertuan Muda di bawah peran tunggal.
Di antara janji setia diatur sebagai berikut:
Jawi script 
…جكالاو توان كڤد بوڬيس
توانله كڤد ملايو
دان جكالاو توان كڤد ملايو
توانله كڤد بوڬيس
دان جكالاو موسوه كڤد بوڬيس
موسوهله كڤد ملايو
دان جكالاو موسوه كڤد ملايو
موسوهله كڤد بوڬيس
مك بارڠسياڤا موڠكير
دبينساكن الله سمڤأي انق چوچوڽ…”‎
Melayu  Script
…jikalau tuan kepada Bugis,
tuanlah kepada Melayu
dan jikalau tuan kepada Melayu
tuanlah kepada Bugis
dan jikalau musuh kepada Bugis
musuhlah kepada Melayu
dan jikalau musuh kepada Melayu
musuhlah kepada Bugis
maka barangsiapa mungkir
dibinasakan Allah sampai anak cucunya…
English Translation
“… if he was an ally to the Bugis
he shall then be an ally to the Malays
and if he was an ally to the Malays
he shall then be an ally to the Bugis
and if he was a nemesis to the Bugis
he shall then be a nemesis to the Malays
and if he was a nemesis to the Malays
he shall then be a nemesis to the Bugis
if one ever betrayed
calamity by Allah till his descendants…”

Yang Dipertuan Muda

The house viceregal Riau mengaku melacak nenek moyang mereka dari Bugis Royal House di Luwu , Sulawesi . The Bugis menonjol di wilayah ini mulai pada masa pemerintahan Abdul-Jalil Rahmat dari Johor-Riau, selama periode turbulensi Sultan dibunuh oleh Raja Kecil yang mengaku bahwa ia adalah keturunan dari almarhum Sultan Mahmud. Dia kemudian keturunan sebagai Sultan Johor lama. Kematian Abdul Jalil disaksikan oleh anaknya, Sulaiman dari Johor-Riau, yang kemudian kemudian meminta bantuan dari Bugis dari Klang untuk memerangi Raja Kecil dan pasukannya. Aliansi terbentuk antara Sulaiman dan Bugis berhasil mengalahkan Raja Kecil off dari singgasananya.
Sebagai pemukiman untuk utang kehormatan oleh Sulaiman dari Johor-Riau pada tahun 1772, pemerintah bersama terstruktur antara seseorang yg Bugis dan asli Melayu dan beberapa pernikahan politik yang terbentuk antara dua dinasti. Bugis kepala suku yang awarned dengan judul Yang di-Pertuan Muda / Yamtuan Muda (wakil penguasa atau Viceroy) dan Raja Tua (pangeran principal), menerima kursi yang terpenting kedua dan ketiga di kesultanan. Meskipun judul terakhir menjadi usang, posisi Yang Dipertuan Muda mendominasi sampai reformasi yang bergabung kedaulatan dua rumah Kerajaan pada tahun 1899.
Yang Dipertuan Muda Riau memiliki sebuah de facto kekuasaan prerogatif melebihi dari sultan sendiri. Terlepas dari kenyataan fungsinya di bawah hukum itu tertinggi kedua di kantor, tetap dalam praktek dia bisa lebih dikuasai sultan. Hal ini sangat jelas pada masa pemerintahan Sultan Abdul Rahman II ketika Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar yang dianggap dominan ketika ia bertindak sebagai Bupati kesultanan. Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar bertanggung jawab atas penobatan Abdul Rahman dan sangat berpengaruh selama negosiasi dengan kekuatan Belanda dan Inggris selama sengketa suksesi antara Tengku Hussein dan Tengku Abdul Rahman.
Resident
Untuk posisi turun-temurun dari Sultan, Sultan sepenuhnya tunduk di bawah pengaruh Hindia Belanda otoritas. Meskipun dia de jure pada puncak sistem monarki, ia berada di bawah kontrol langsung dari Residen Belanda di Tanjung Pinang . Semua hal yang berkaitan dengan administrasi Kesultanan termasuk pengangkatan Sultan dan Yang Dipertuan Muda, harus dilakukan dalam pengetahuan dan bahkan persetujuan dari Residen Belanda.

Sultans of Riau

                    Sultans of Johor-Riau                                                  Malaka-Johor Dynasty.  Memerintah 
Alauddin Riayat Shah II                                                             1528-1564
Muzaffar Shah II                                                                          1564-1570
Abdul Jalil Shah I                                                                         1570-1571
Ali Jalla Abdul Jalil Shah II                                                        1571-1597
Alauddin Riayat Shah III                                                            1597-1615
Abdullah Ma’ayat Shah                                                              1615-1623
Abdul Jalil Shah III                                                                       1623-1677
Ibrahim Shah                                                                                 1677-1685
Mahmud Shah II                                                                           1685-1699
Bendahara Dynasty
Abdul Jalil IV                                                                                  1699-1720
Malaka-Johor Dinasti (keturunan)
Abdul Jalil Rahmat Shah (Raja Kecil)                                     1718-1722
Bendahara Dynasty
Sulaiman Badrul Alam Shah                                                     1722-1760
Abdul Jalil Muazzam Shah                                                         1760-1761
Ahmad Riayat Shah                                                                     1761 – 1761
Sultan Mahmud Shah III                                                            1761-1812
Abdul Rahman Muazzam Shah                                                1812-1832
Muhammad II Muazzam Shah                                                  1832-1842
Mahmud IV Muzaffar Shah                                                        1842-1858
Sulaiman II Badrul Alam Shah                                                  1858-1883
Yang Dipertuan Muda Dynasty
Abdul Rahman II Muazzam Shah                                             1883-1911
Yang di-Pertuan Muda of Riau   Di kantor
Daeng Marewah                                                                             1722-1728
Daeng Chelak                                                                                  1728-1745
Daeng Kamboja                                                                              1745-1777
raja Haji                                                                                            1777-1784
Raja Ali                                                                                              1784-1805
raja Ja’afar                                                                                       1805-1831
Raja Abdul Rahman                                                                      1831-1844
Raja Ali bin Raja Jaafar                                                                1844-1857
Raja Haji Abdullah                                                                        1857-1858
Raja Muhammad Yusuf                                                               1858-1899

Dirangkum dari wikipedia